Cari Blog Ini

Rabu, 16 Maret 2022

PENDIDIKAN AKAN MATI SURI TANPA LITERASI Oleh Peri Saputra, M.Pd.

 


            Ada sebuah pepatah yang mengatakan “daya beli rendah dan daya bacapun tak jauh beda, dan masih beruntung orang yang daya baca tinggi tetapi daya beli rendah. Karena mereka akan memperoleh warisan berharga dari kumpulan orang-orang hebat”. Pepatah tersebut mempunyai makna bahwa membaca merupakan investasi bagi orang-orang yang haus akan llmu pengetahuan.

Berdasarkan informasi dari media online mengenai peringkat indonesia dalam kemampuan membaca dan menulis yang sangat memprihatinkan sekali, pertama kali keikutsertaan pada tahun 1997 tentang iterasi Indonesia menempati peringkat 40 dari 41 negara yang beraprtisipasi. Dan hasil berikutnya pada tahun 2000  dalam survey yang sama sangat mencengangkan negara Indonesia berada di peringkat 64 dari 65 negara partisipan. Sedangkan dalam HDI (Human Development Index) pada tahun 2013 Indeks Pembangunan Manusia, negara kita menempati urutan 108. Fakta memprihatinkan ini terungkap dari pemeringkatan literasi internasional, Most Literate Nations in the World, yang diterbitkan Central Connecticut State University. Tingkat kemampuan membaca dan menulis masyarakat Indonesia sangat ketinggalan. Indonesia berada di urutan ke-60 dari total 61 negara. Posisi paling atas diduduki Finlandia, kemudian disusul Norwegia, Islandia, Denmark, Swedia, dan Swiss. Tentu saja dengan hasil ini sangat menyedihkan bagi dunia pendidikan kita, terutama bagi para pelaku dalam dunia pendidikan dan pemangku kepentingan dunia pendidikan itu sendiri.

Kenyataan ini merupakan tantangan terbesar bagi dunia pendidikan saat ini. Proses pendidikan sebagai upaya untuk mencerdasakan suatu bangsa dan diharapkan akan melahirkan generasi-generasi yang unggul secara intelektual sehingga pada akirnya nanti akan mampu bersaing dengan generasi asing. Gambaran konkret tersebut menginterupsi kita untuk kembali memperhatikan pentingnya membagun kembali budaya-budaya literasi baik dalam dunia pendidikan, maupun budaya literasi dalam keluarga. Karena sejatinya budaya literasi harus kita hidupkan kembali karena selama ini pendidikan kita secara sadar ataupun tidak telah memisahkan diri dari budaya literasi, yang banyak dilakukan guru adalah mengejar target dalam kurikulum untuk menghabiskan materi yang ada di buku paket, masalah ujian nasional yang menjadi momok bukan saja bagi siswa tetapi sudah menjadi suatu yang sangat menyeramkan bagi gurunya. Kemudian disibukkan dengan pergantian kurikulum, disibukkan dengan tuntutan harus mengajar 24 jam, hal ini semua secara tidak sadar telah membuat para guru kebingunggan dalam proses pembelajaran dan akhirnya waktu untuk membimbing anak dalam membaca sangat kurang bahkan tidak pernah dilakukan. Sedangkan pendidikan mempunyai arah untuk mewujudkan keperluan perikehidupan dari seluruh aspek kehidupan manusia dan arah tujuan pendidikan untuk mengangkat derajat dan harkat manusia (Tilaar,1999:68).

Sebagai seorang guru tentu saja sangat memiliki peran penting untuk menghidupkan kembali budaya literasi yang telah mati suri cukup lama, guru harus menjadi ujung tombak dalam menghidupkan kembali budaya literasi di sekolahnya masing-masing. Beberapa langkah yang pernah penulis lakukan untuk menumbuhkan kembali minat baca bagi anak didik diantaranya: pertama, untuk menuntut siswa kita mau membaca tentu saja mereka harus memiliki contoh atau tauladan, contoh atau tauladan yang paling dekat dengan mereka adalah orang tua mereka di rumah. Hanya saja hal ini tidak mungkin karena mayoritas penduduk di tempat saya mengajar adalah petani karet dan sawit, kemudian tingkat pendidikan orang tua siswapun sangat beragam tentu saja tamatan sekolah dasar mendominasi berikutnya adalah tamatan SMP dan SMA sedangkan tamatan perguruan tinggi bisa dihitung dengan jari. Hal inilah yang membuat penulis yakin untuk menyerahkan tauladan kepada orang tua sangat tidak mungkin. Nah dalam hal inilah peran saya sebagai seorang guru sangat menentukan, saya mulai membawa koleksi buku-buku saya yang ada di rumah seperti Novel, Kumpulan Cerpen, hingga buku-buku populer yang menarik bagi peserta didik.

Buku-buku yang saya bawa tentu saja disela-sela waktu mengajar saya baca, tentu saja proses saya membaca ini secara rutin dilakukan sehingga peserta didik saya mulai melirik ditengah-tengah mengerjakan tugas mereka. Pada akhirnya siswa saya walaupun tidak seluruhnya mulai meminjam buku yang saya bawa ke sekolah. Kemudian apabila mereka selesai membaca mereka akan menanyakan kembali apakah Bapak ada koleksi buku yang lain lagi.

Kedua, setiap siswa yang terlambat masuk saat jam pelajaran bahasa Indonesia yang saya ampuh, bagi mereka akan saya suguhkan dengan buku, majalah, koran, Quran, mereka saya suruh memilih dan saya wajibkan membaca beberapa paragraf saja kemudian mereka saya wajibkan untuk menceritakan kembali apa yang mereka baca tadi. Tentu saja hal ini sangat mengasyikkan disamping untuk menghindari marah kepada peserta didik yang terlambat. Saya juga akan memperoleh informasi dari hasil yang mereka baca.

Selanjutnya yang ketiga, secara tidak sengaja saya dan istri mempuyai sebuah RA (Raudhatul Athfal) yang beralamat di Jalan Majapahit Lr. Kamandanu Kecamatan Lubuklinggau Timur I Kota Lubuklinggau Provinsi Sumatera Selatan. Setiap pagi mulai dari hari Senin sampai hari Kamis, jam 7.00 Wib setiap anak diwajibkan untuk privat membaca mereka langsung didampingi oleh orang tua. Setiap guru kelas di RA kami memiliki kewajiban setiap pagi mereka harus melakukan privat membaca, dan hasilnya sangat luar biasa peserta didik cepat dalam proses membaca sehingga belum genap dalam satu semester mereka sudah lancar membaca. Melihat hal ini sayapun sangat termotivasi bahwa untuk menghidupkan kembali denyut nadi literasi disetiap sekolah-sekolah yang ada dipelosok negeri tidaklah susah, karena dengan modal keikhlasan dan kemauan serta kebersamaan literasi disekolah-sekolah akan hidup kembali.

Dari beberapa langkah yang penulis lakukan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa budaya literasi di sekolah dapat dihidupkan kembali dengan contoh atau tauladan dari orang dekat mereka salah satunya adalah guru mereka sendiri. Suatu hal yang sangat mustahil jika kita para guru dituntut untuk mengajak anak kita gemar membaca, sementara kita tidak pernah mau membaca, tidak mau mengubah kebiasaan lama yaitu hanya mentransfer ilmu-ilmu yang sudah usang kepada siswa kita tanpa merefres pengetahuan baru dan tidak mau menyisihkan uang untuk membeli buku. Maka jangan harap budaya literasi itu akan berhasil jika orang yang seharusnya beridiri paling depan tapi pada kenyataannya tidak bisa memberikan contoh atau tauladan bagi anak-anak kita sendiri.

Sebagai seorang guru sudah sepatutnya kita memberikan inspirasi bagi anak didik kita, ubahla rasa malas menjadi gemar membaca, hukuman menjadi menyenangkan dan mengasyikkan dengan memberikan tugas membaca, pada akhirnya anak didik kita akan mulai terbiasa dan mengikuti irama yang diberikan oleh kita untuk mendekati buku dan menyayangi buku. Kalau anak didik kita sudah diberikan waktu untuk bertatap muka dan berilaturahim dengan buku maka lama kelamaan mereka akan menyukai dan menyenangi sehingga tujuan untuk menghidupkan kembali gerakan literasi akan kembali hidup.

Segala sesuatu akan dimulai pada usia dini, kebiasaan pada usia untuk membentuk pola atau pondasi yang kokoh yaitu pada saat usia TK. Oleh sebab itu kepada orang tua hendaknya dapat memberikan waktu dan ruang bagi anak-anak kita untuk memilih sekolah atau tempat mereka menimba ilmu. Karena anak kita saat ini dipersiapkan bukan untuk waktu sekarang tetapi untuk waktu Indonesia Emas atau investasi jangka panjang. Karena anak dan pendidikan kita akan berhadapan situasi dengan derasnya pengaruh-pengaruh globalisasi yang akan menjerumuskan anak-anak kita jika tidak memiliki pondasi yang kuat. 

Penulis sangat berharap, gerakan literasi akan hidup kembali akan membumi kembali dengan adanya kebersamaan, keikhlasan, kerendahan hati, dan kemauan. Karena harapan kita semua tentunya sama generasi yang akan datang harus benar-benar bisa mengangkat harkat dan martabat bangsa ini di mata dunia. Kita belum kalah, kita belum lelah, kita tidak akan menyerah. Seperti yang diungkapkan berikut guru yang mencintai profesinya itulah guru yang profesional (Suryadi, 1993) dua puluh tahun yang akan datang akan lahir generasi emas yang mampu mengguncangkan dunia,  Indonesia Emas Indonesia Jaya.

 

6 komentar:

  1. Saya tipe daya baca tinggi tetapi daya beli rendah 😂

    BalasHapus
  2. Idenya bagus. Pak, apakah data menunjukkan sisiwa yang terlambat semakin berkurang karena disuruh membaca?

    BalasHapus
  3. Luar biasa...idenya sangat menginspirasi kita

    BalasHapus
  4. Amiin. Gerakan litersi yang menginspirasi.

    BalasHapus
  5. Setuju sekali gerakan literasi harus dimulai dari keteladanan sejak dini. Hukuman terlambat yang mendidik.

    BalasHapus

Tips Memilih Sekolah yang Tepat untuk Anak

Pendidikan formal masih menjadi primadona bagi orang tua, dan orang tua menganggap pendidikan formal ini harus ditempuh setiap anak. Di Indo...

Populer Post