Hari
ini tepat hari ke sepuluh saya menulis di kompasiana, selama ini beberapa
tulisan mengenai puisi, cerpen, artikel, dan sedikit hasil dari penelitian yang
pernah saya tulis hanya tersimpan rapi dalam laptop. Tetapi ketika saya membaca
tulisan beberapa rekan di kompasiana, membuat saya tergelitik dan tertarik
untuk menuangkan passion saya di sini. Entah apa namanya apakah saya telah
jatuh cinta dengan kompasiana atau apalah namanya ?. Tetapi yang jelas saya
hanya ingin berbagi lewat tulisan ini, dan berharap suatu saat nanti akan
tersimpan rapi di sini. Ketika ada sahabat, kerabat, ataupun yang ingin
membacanya toh mereka tidak sibuk lagi harus membongkar isi laptop saya. Hehehehehehhe!
Mengapa kita harus menulis ya
teman-teman ?
Meningatkan
pada pesan sastrawan yang begitu masyhur Pak Pram (Pramoedya Ananta Toer)
“Orang boleh saia padai setinggi
langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari sejarah dan di
tengah-tengah masyarakat”
Ketika
kita menulis, maka kita telah meninggalkan goresan-goresan yang dicatat dalam
sejarah, berupa warisan dalam bentuk tulisan. Walaupun sebenarnya saya adalah
guru bahasa Indonesia di salah satu SMA di Kabupaten Musi Rawas, sayapun mesti
harus rajin menulis. Karena saya akan berbagi informasi kepada murid-murid saya
tentang belajar menulis, seperti menulis puisi, cerpen, novel, karya ilmiah dan
lain sebagainya. Jadi mengingat pesannya Pak Pram, walaupun guru maka ketika tidak
menulis maka akan hilang.
Pagi ini sama seperti biasanya,
mengantarkan istriku ke Raudhatul Athfal kami di jalan Majapahit. Kira-kira
belum lima menit kami sudah sampai di RA, langsung saja istriku membuka pagar dan
aku merapikan pohon markisa yang sedang rindang-rindangnya di sekolah kami.
Sambil merapikan pohon markisa tak lama kemudian datanglah Umi Tia, salah satu
guru di RA Kami. Umi Tia bersama putrinya kira-kira usianya 4 atau 5 tahun. Langsung
menghampiri istriku dan bercerita
“ Umi ! aku dak puaso mi,
jingokla jajan ku banyak nian” yang jika diartikan
“Umi saya tidak puasa, lihat mi jajanan saya
banyak sekali”
Saya dan istri tertawa bersama hhahahahahah
“Sini wak minta ujar ku”
“nah bagilah wak minta jajanan
ayuk” ujar istriku dan diapun tersenyum.
Masjid di komplek rumah kami tidak
terlalu dekat dan tidak juga terlalu jauh, jadi cukup dengan berjalan kaki
saja. Malam ini Masjid kami sudah mulai Taraweh dengan dua puluh tiga rakaat,
sesampai di masjid kuperhatikan malam yang ke enam tidak sama seperti malam
pertama, kedua, dan sampai kelima. Malam sebelumnya masjid kami penuh sesak,
hingga jamaahnya tidak tertampung lagi, dan teras masjidpun digunakan untuk
sholat. Tapi tidak dengan malam ini atau malam ke enam, masjid kami tidak lagi
penuh sesak seperti malam-malam sebelumnya.
Jika dihitung barisan bapak-bapak
tersisa sekitar lima baris saja, sementara anak-anak di belakang kami sekitar
satu barisan saja. Ketika bersholawat kutolehkan pandanganku ke belakang
kulihat Abang dan Adek bersama teman-temannya mulai dari rakaat ke lima sampai
sepuluh hanya duduk bersandar di dinding masjid. Dengan raut wajah yang kusut
terlebih lagi menahan kantuk yang begitu berat dan kelelahan bermain bersama
teman-temannya. Selesai rakaat ke dua puluh kulihat Abang, Adek dan
teman-temannya juga ikut menyelesaikan sholat witir, selesai sholat witir
kuarahkan pandanganku kebelakang tak terlihat lagi barisan anak-anak termasuk
abang, dek akmal dan teman-temannya.
Inilah fenomena di masjid dekat
rumah kami, dan semoga saja tidak sama hal nya dengan masjid-masjid disekitar
rumah sahabat-sahabat semuanya. Karena begitu sayang rasanya meninggalkan rumah
Allah, yang pada saat nya nanti akan memberikan syafaat untuk kita. Tapi kita
terlebih dahulu yang telah meninggalkannya.
Sejujurnya ada rasa malu yang
begitu dalam dan sesal dalam diri ini, sesal itu begitu menyayat hati, hingga
menggores dan lukanya begitu dalam. Entah luka yang begitu dalam ini akankah terobati, tapi walaupun
terobati ia tetap meninggalkan bekas, bekas luka yang begitu pedih. Suatu saat
nanti akan menjadi bukti, bahwa ketidakberdayaan diri ini mengajak menuju
kearah kebaikan yang menjadi bekal dan kekal. Akankah di Ramadhan ini masjid
kami kembali penuh seperti semula ?
Inilah Ramadhan meninggalkan
banyak kisah...


