Diujung Penantian Seorang Guru
Peri
Saputra
Keruhnya kondisi dunia
pendidikan di Negeri tercinta ini, dan belum tuntasnya janji-janji
kemerdekaan terhadap anak bangsa.
Membuat hati bergetar dan tubuh melepuh,
rinai-rinai bening itu tidak mampu ditahan, entah berapa lama lagi
kondisi ini bertahta. Ingin rasanya diri ini mengadu kepadamu duhai negeriku
tercinta, menumpahkan segala isi hati
tapi tak bisa, hanya untaian bait-bait lirih ini yang mampu ku persembahkan
kepada dirimu duhai negeriku.
Diri ini sangat
memahami begitu sulit dan peliknya permasalahan duni pendidikan di Negeri
tercinta ini. Bukan karena bangsa kita tidak memiliki generasi yang cerdas,
bukan pula bangsa ini kekurangan tokoh yang peduli dengan dunia pendidikan, dan
bukan juga kekurangan guru yang memiliki integritas terhadap dunia pendidikan, negeri ini banyak memiliki generasi yang
cerdas banyak sekali. Bangsa ini juga tidak kekurangan dengan pemimpin yang
peduli dan cinta dengan dunia pendidikan. Tapi negeri ini kekurangan generasi
yang mau mengubah kondisi ini, kami sering kali tak berdaya jika berhadapan
dengan masalah ini. Kami ibarat burung-burung yang bisa terbang tapi kaki kami yang
satunya terikat di bumi.
Dalam goresan sederhana ini, diriku
sangat memahami bahwa tak sebanding dengan perjuangan teman-teman guru yang
lain. Mereka semua pejuang pejuang pendidikan yang ulung dan sangat tangguh,
keihklasan, kesungguhan menjadi senjata yang sangat efektif dalam menjalankan
tugas sebagai guru. Sesungguhnya kesempurnaan mendidik adalah milik para Rosul
dan Nabi Allah SWT, yang menjadi panutan dan tauladan bagi seluruh guru di
penjuru dunia ini.
Kisah ini dimulai tepatnya Satu
Januari tahun dua ribu sepuluh Ketika Pertama kali diriku diangkat sebagai
guru, walaupun sebenarnya diri ini telah berkecimpung dalam dunia pendidikan
dari tahun dua ribu lima di SMA PGRI Lubuklinggau Kota Lubuklinggau. Kemudian
hingga diri ini ditempatkan di SMA Negeri Muara Kelingi Kabupaten Musi Rawas
Provinsi Sumatera Selatan. Jarak dari rumah hingga sekolah tempat mengajar
sejauh enam puluh kilometer, tempat mengajar di Kabupaten Musi Rawas sedangkan
rumah kami di kota Lubuklinggau. Setiap hari jarak yang harus ku tempuh seratus
dua puluh kilometer untuk menemui anak-anak didikku. Dalam perjalanan dari
rumah kesekolah, memang jalannya sudah cukup bagus karena beraspal, tetapi
tidak sebagus jalan di Ibu Kota Provinsi, jalan yang ku lalui setiap tahun
pasti saja banyak lobang dan tak dirikupun pernah merasakan kerasnya aspal.
Hingga tubuhku terpental beberapa puluh meter dari atas kuda besiku.
Pada hari itu tepatnya peringatan hari pendidikan nasional, diriku seperti
biasa sebelum berangkat kesekolah, diri ini menjalankan kewajiban sebagai
hambaNya. Setelah selesai diriku seperti biasa membantu pekerjaan istri
sebisaku saja. Tepat jam 6.10 diriku mulai memacu motorku dengan kecepatan 70
Km perjam. Setelah perjalanan selama 30 menit takdir itu berbicara, diriku
harus merasakan kerasnya aspal. Hingga wajah dan tangan serta kakiku semuanya
luka. Alhamdulillah Allah SWT masih menyelamatkan diriku dan kecelakaan itu tak
sampai merenggut nyawa ini.
Mengajar dipelosok
negeri ini tepatnya di SMA Negeri Muara Kelingi, sebagai guru mata pelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia tentu tantangannya cukup berat, karena dihadapkan
dengan permasalahan penggunaan bahasa daerah yang masih cukup kental dan merata
dikalangan siswa. Tantangan ini tentu menjadi motivasi tersendiri bagi diri
ini. Seiring dengan perjalanan waktu dari tahun dua ribu sepuluh hingga dua
ribu sembilan belas, hasilnya sedikit demi sedikit mulai terlihat. Karena sifat
dari penggunaan bahasa ialah mau mencoba dan tidak malu menggunakannya, dengan
kata lain siswa harus memiliki tauladan dalam penggunaan bahasa indonesia. Diri
ini berusaha memperbaiki penggunaan bahasa Indonesia bagi peserta didik, beberapa
cara yang pernah dilakukan disamping pada saat waktu pembelajaran menggunakan
bahasa Indonesia yang baik. Kemudian pada saat diri ini menjadi pembina upacara
atau kegiatan-kegiatan lain seperti perpisahan dan sebagainya, diriku selalu
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik.
Setelah
permasalahan penggunaan bahasa yang sedikit demi sedikit mampu di atasi, tentu
saja permasalahan berikutnya adalah keterampilan menulis, masalah menulis ini masih terus
dicarikan solusinya oleh diriku. Karena ketika siswa dihadapkan pada kertas dan
pena untuk menuangkan berbagai ide mereka kedalam bentuk tulisan pada saat itu
juga kebuntuan pasti melanda. Walaupun dalam proses belajar mengajar selalu
menggunakan metode dan penedekatan yang berbeda tetapi selalu saja hambatannya
kemampuan mengolah bahasa yang ada dalam pikiran untuk dijadikan tulisan dalam
lembar lembar buku, sama seperti siswaku berhadapan dengan hantu yang sangat
menakutkan dan menyeramkan.
Berbagai cara untuk membangkitkan minat menulis bagi siswaku, terus kucoba
kelas yang kuajarkan selalu kuberi motivasi bahwa menulis itu mulia, menulis
juga bisa menjadi profesi yang menjanjikan untuk kehidupan kedepannya. Karena
disekolahku kebanyakan cita-cita meraka hanya sebatas mejadi seorang Polisi,
Tentara, Bidan, Dokter. Sedikit demi sedikit mulai kuluruskan bahwa cita-cita
dan profesi yang ada di dunia ini bukan itu saja, menulispun bisa menjadi
profesi yang sangat menjanjikan dalam kehidupan ini. Kusampaikan kepada
anak-anakku siapa yang ingin hidup di dunia seribu tahun, dua ribu tahun, tiga
ribu tahun atau selama bumi masih berputar, maka menulislah. Selama tulisan
ananda semua masih ada maka selama itupula ananda akan terus hidup di dunia
nyata.
Melalui tulisan juga kita mampu mengubah cara pandang seseorang, mengubah
tingkah laku seseorang, mengubah segalanya dari yang belum tahu menjadi tahu
ujarku dihadapan anandaku semuanya. Selain dengan motivasi seperti itu,
anak-anak juga sering kuajak untuk membaca tulisan-tulisan inspirasi baik
melalui buku atau melalui handpon mereka. Dengan berbagai cara yang kulakukan
berharap suatu saat nanti akan muncul niat dari mereka untuk mencoba menulis,
menuangkan ide-ide mereka kedalam tulisan.
Diriku sangat berbangga ketika anandaku bernama Anisah Dzakiah Afifah yang
ku bimbing selama dua tahun terakhir, sekarang duduk di kelas XI IPA.3 SMA
Negeri Muara Kelingi mau mengikuti lomba menulis puisi, lomba yang kami ikuti
pertama sekali yang diadakan oleh rekan-rekan Guru Bahasa Indonesia melalui
MGMP Bahasa Indonesia Kabupaten Musi Rawas dalam rangka memperingati Bulan
Bahasa, mengadakan lomba cipta baca puisi, Alhasil dengan berbagai teori dan
strategi dalam menulis puisi kuberikan kepada Afifah anakku, bahkan kamipun
berlatih untuk membaca puisi dengan harapan akan masuk 10 besar dalam lomba
tersebut dan berhak melangkah kebabak berikutnya yaitu membakan puisi karya
sendiri. Tetapi nasib belum berpihak keada ananku ini, diapun tak masuk dalam
deretan 10 besar. Diriku tetap saja secara terus menerus memberikan semangat
kepada ananda yang satu ini, walaupun tidak menang kulihat ananda Afifah tidak
terlalu berputus asa.
Gagal menjadi juara lomba cipta dan baca puisi di tingkat Kabupaten Musi
Rawas, tidak membuat semangat Afifah memudar. Kali ini kami kembali mencoba
peruntungan di tingkat Provinsi Sumatera Selatan, mengikuti lomba cipta dan
baca puisi yang diadakan Universitas Taman Siswa di Palembang, Se Sumatera
Selatan. Beberapa kali puisi anandaku ini kulihat dan perbaikan, secara
intensif. Bahkan buku-buku yang berhubungan dengan puisi ku bawakan dari rumah
kupinjamkan kepada ananda Afifah ini, setelah kurasa puisi ini layak untuk
dikirimkan ke pihak panitia maka puisi ini kukirimkan melalui alamat emailku saputraperi97@yahoo.co.id. Tibahla saat pengumuman diriku pun
tak mau melihat hasilnya, karena diri ini tau untuk sekelas tingkat Provinsi
Sumatera Selatan rasanya tak mungkin akan masuk dalam kategori juara.
Sekitar pukul 23.00 WIB, handphoneku bergetar, dan kubaca pesan singkat itu
bahwa ananda Afifah menjadi juara pertama lomba cipta baca puisi tingkat
Provinsi Sumatera Selatan. Alhamdulillah ujarku, anak kampung sekolah di dusun
mampu bersaing dengan ribuan anak kota. Sungguh luar biasa ujarku. Terbaru
ananda Anisah Zakiah Afifah berhasil menjadi juara II lomba cipta baca puisi di
Universitas Sriwijaya Palembang. Pada saat ini saya dan ananda lagi
mempersiapkan karya berupa cerpen yang akan diikuti pada ajang FLS (Festifal
Literasi Sekolah) tahun 2019.
Pada akhirnya diri ini sangat memahami jika kesempurnaan dalam mendidik
hanyalah dimiliki oleh para Rosul Allah SWT, dirinya hanyalah dedebuan yang tersapu oleh angin, menjadi
penerang dalam pekat malam dengan sepercik api dari lilin yang mulai menggigil,
bahkan menjadi suluh dalam derasnya hujan tak kan mampu mengusir setitik
kekuasaan Allah SWT.