Ada sebuah pepatah
yang mengatakan “daya beli rendah dan
daya bacapun tak jauh beda, dan masih beruntung orang yang daya baca tinggi
tetapi daya beli rendah. Karena mereka akan memperoleh warisan berharga dari
kumpulan orang-orang hebat”. Pepatah tersebut mempunyai makna bahwa membaca merupakan investasi bagi orang-orang yang
haus akan llmu pengetahuan.
Berdasarkan informasi dari media online mengenai
peringkat indonesia dalam kemampuan membaca dan menulis yang sangat
memprihatinkan sekali, pertama kali keikutsertaan pada tahun 1997 tentang iterasi
Indonesia menempati peringkat 40 dari 41 negara yang beraprtisipasi. Dan hasil berikutnya
pada tahun 2000 dalam survey yang sama sangat
mencengangkan negara Indonesia berada di peringkat 64 dari 65 negara partisipan.
Sedangkan dalam HDI (Human Development
Index) pada tahun 2013 Indeks Pembangunan Manusia, negara kita menempati
urutan 108. Fakta memprihatinkan ini terungkap dari pemeringkatan literasi
internasional, Most Literate Nations in the World, yang diterbitkan Central
Connecticut State University. Tingkat kemampuan membaca dan menulis masyarakat
Indonesia sangat ketinggalan. Indonesia berada di urutan ke-60 dari total 61
negara.
Posisi paling atas diduduki Finlandia, kemudian disusul Norwegia, Islandia,
Denmark, Swedia, dan Swiss. Tentu saja dengan hasil ini sangat menyedihkan bagi
dunia pendidikan kita, terutama bagi para pelaku dalam dunia pendidikan dan
pemangku kepentingan dunia pendidikan itu sendiri.
Kenyataan ini merupakan
tantangan terbesar bagi dunia pendidikan saat ini. Proses pendidikan sebagai
upaya untuk mencerdasakan suatu bangsa dan diharapkan akan melahirkan
generasi-generasi yang unggul secara intelektual sehingga pada akirnya nanti
akan mampu bersaing dengan generasi asing. Gambaran konkret tersebut
menginterupsi kita untuk kembali memperhatikan pentingnya membagun kembali
budaya-budaya literasi baik dalam dunia pendidikan, maupun budaya literasi
dalam keluarga. Karena sejatinya budaya literasi harus kita hidupkan kembali
karena selama ini pendidikan kita secara sadar ataupun tidak telah memisahkan
diri dari budaya literasi, yang banyak dilakukan guru adalah mengejar target
dalam kurikulum untuk menghabiskan materi yang ada di buku paket, masalah ujian
nasional yang menjadi momok bukan saja bagi siswa tetapi sudah menjadi suatu
yang sangat menyeramkan bagi gurunya. Kemudian disibukkan dengan pergantian
kurikulum, disibukkan dengan tuntutan harus mengajar 24 jam, hal ini semua
secara tidak sadar telah membuat para guru kebingunggan dalam proses
pembelajaran dan akhirnya waktu untuk membimbing anak dalam membaca sangat
kurang bahkan tidak pernah dilakukan. Sedangkan pendidikan mempunyai arah untuk
mewujudkan keperluan perikehidupan dari seluruh aspek kehidupan manusia dan
arah tujuan pendidikan untuk mengangkat derajat dan harkat manusia
(Tilaar,1999:68).
Sebagai seorang guru tentu
saja sangat memiliki peran penting untuk menghidupkan kembali budaya literasi
yang telah mati suri cukup lama, guru harus menjadi ujung tombak dalam
menghidupkan kembali budaya literasi di sekolahnya masing-masing. Beberapa
langkah yang pernah penulis lakukan untuk menumbuhkan kembali minat baca bagi
anak didik diantaranya: pertama, untuk
menuntut siswa kita mau membaca tentu saja mereka harus memiliki contoh atau
tauladan, contoh atau tauladan yang paling dekat dengan mereka adalah orang tua
mereka di rumah. Hanya saja hal ini tidak mungkin karena mayoritas penduduk di
tempat saya mengajar adalah petani karet dan sawit, kemudian tingkat pendidikan
orang tua siswapun sangat beragam tentu saja tamatan sekolah dasar mendominasi
berikutnya adalah tamatan SMP dan SMA sedangkan tamatan perguruan tinggi bisa
dihitung dengan jari. Hal inilah yang membuat penulis yakin untuk menyerahkan
tauladan kepada orang tua sangat tidak mungkin. Nah dalam hal inilah peran saya
sebagai seorang guru sangat menentukan, saya mulai membawa koleksi buku-buku
saya yang ada di rumah seperti Novel, Kumpulan Cerpen, hingga buku-buku populer
yang menarik bagi peserta didik.
Buku-buku yang saya bawa
tentu saja disela-sela waktu mengajar saya baca, tentu saja proses saya membaca
ini secara rutin dilakukan sehingga peserta didik saya mulai melirik
ditengah-tengah mengerjakan tugas mereka. Pada akhirnya siswa saya walaupun
tidak seluruhnya mulai meminjam buku yang saya bawa ke sekolah. Kemudian
apabila mereka selesai membaca mereka akan menanyakan kembali apakah Bapak ada
koleksi buku yang lain lagi.
Kedua,
setiap
siswa yang terlambat masuk saat jam pelajaran bahasa Indonesia yang saya ampuh,
bagi mereka akan saya suguhkan dengan buku, majalah, koran, Quran, mereka saya
suruh memilih dan saya wajibkan membaca beberapa paragraf saja kemudian mereka
saya wajibkan untuk menceritakan kembali apa yang mereka baca tadi. Tentu saja
hal ini sangat mengasyikkan disamping untuk menghindari marah kepada peserta
didik yang terlambat. Saya juga akan memperoleh informasi dari hasil yang
mereka baca.
Selanjutnya yang ketiga, secara tidak sengaja saya dan
istri mempuyai sebuah RA (Raudhatul Athfal) yang beralamat di Jalan Majapahit
Lr. Kamandanu Kecamatan Lubuklinggau Timur I Kota Lubuklinggau Provinsi
Sumatera Selatan. Setiap pagi mulai dari hari Senin sampai hari Kamis, jam 7.00
Wib setiap anak diwajibkan untuk privat membaca mereka langsung didampingi oleh
orang tua. Setiap guru kelas di RA kami memiliki kewajiban setiap pagi mereka
harus melakukan privat membaca, dan hasilnya sangat luar biasa peserta didik
cepat dalam proses membaca sehingga belum genap dalam satu semester mereka
sudah lancar membaca. Melihat hal ini sayapun sangat termotivasi bahwa untuk
menghidupkan kembali denyut nadi literasi disetiap sekolah-sekolah yang ada
dipelosok negeri tidaklah susah, karena dengan modal keikhlasan dan kemauan
serta kebersamaan literasi disekolah-sekolah akan hidup kembali.
Dari beberapa langkah yang
penulis lakukan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa budaya literasi di
sekolah dapat dihidupkan kembali dengan contoh atau tauladan dari orang dekat
mereka salah satunya adalah guru mereka sendiri. Suatu hal yang sangat mustahil
jika kita para guru dituntut untuk mengajak anak kita gemar membaca, sementara
kita tidak pernah mau membaca, tidak mau mengubah kebiasaan lama yaitu hanya
mentransfer ilmu-ilmu yang sudah usang kepada siswa kita tanpa merefres
pengetahuan baru dan tidak mau menyisihkan uang untuk membeli buku. Maka jangan
harap budaya literasi itu akan berhasil jika orang yang seharusnya beridiri
paling depan tapi pada kenyataannya tidak bisa memberikan contoh atau tauladan
bagi anak-anak kita sendiri.
Sebagai seorang guru sudah
sepatutnya kita memberikan inspirasi bagi anak didik kita, ubahla rasa malas
menjadi gemar membaca, hukuman menjadi menyenangkan dan mengasyikkan dengan
memberikan tugas membaca, pada akhirnya anak didik kita akan mulai terbiasa dan
mengikuti irama yang diberikan oleh kita untuk mendekati buku dan menyayangi
buku. Kalau anak didik kita sudah diberikan waktu untuk bertatap muka dan
berilaturahim dengan buku maka lama kelamaan mereka akan menyukai dan
menyenangi sehingga tujuan untuk menghidupkan kembali gerakan literasi akan
kembali hidup.
Segala sesuatu akan dimulai
pada usia dini, kebiasaan pada usia untuk membentuk pola atau pondasi yang
kokoh yaitu pada saat usia TK. Oleh sebab itu kepada orang tua hendaknya dapat
memberikan waktu dan ruang bagi anak-anak kita untuk memilih sekolah atau
tempat mereka menimba ilmu. Karena anak kita saat ini dipersiapkan bukan untuk
waktu sekarang tetapi untuk waktu Indonesia Emas atau investasi jangka panjang.
Karena anak dan pendidikan kita akan berhadapan situasi dengan derasnya
pengaruh-pengaruh globalisasi yang akan menjerumuskan anak-anak kita jika tidak
memiliki pondasi yang kuat.
Penulis sangat berharap,
gerakan literasi akan hidup kembali akan membumi kembali dengan adanya
kebersamaan, keikhlasan, kerendahan hati, dan kemauan. Karena harapan kita semua
tentunya sama generasi yang akan datang harus benar-benar bisa mengangkat
harkat dan martabat bangsa ini di mata dunia. Kita belum kalah, kita belum
lelah, kita tidak akan menyerah. Seperti yang diungkapkan berikut guru yang
mencintai profesinya itulah guru yang profesional (Suryadi, 1993) dua puluh
tahun yang akan datang akan lahir generasi emas yang mampu mengguncangkan dunia,
Indonesia Emas Indonesia Jaya.